ISTIHSAN DAN ISTISHAB




ISTISHAN DAN ISTISHAB
A.    ISTIHSAN
1.      Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika  membenarkannya.[1]

Menurut istilah yang diberikan ulama Malikiyah dalam buku Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh tulisan Zarkasyi Abdul Salam dan Oman Fathurrahman, disebutkan bahwa istihsan adalah mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istina’ dan berdasarkan pada keringanan agama karena adanya hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian tadi. Pengertian istishan oleh seorang ulama Hanafiyah adalah beralih kepada penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya karena adanya dalil syarak yang lebih khusus.

Dengan memperhatikan pengertian pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa istihsan adalah :
a.      Berpindah dari suatu hukum ke hukum yang lain, pada sebahagian perisiwa yang sesuai atau meninggalkan suatu hukum dan mengambil hukum yang lain atau mengecualikan  suatu hukum  dari hukum yang berlaku umum dengan yang khusus.
b.      Berpindah dalam penetapan hukum suatu peristiwa dari hukum ke hukum lain haruslah berdasarkan dalil syar’i, baik merupakan pengertian yang diperoleh dari nas maupun maslahah, atau bahkan merupakan ‘urf.
c.       Berpindah dalam menetapkan hukum, adakalanya dari hukum yang ditunjuki oleh umum nas ke hukum khusus, adakalanya berpindah dari hukum yang ditunjuki oleh qiyas khafi, dan adakalanya berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh penerapan satu kaidah syar’iyah ke kaidah syar’iyah yang lain.[2]
2.   Tujuan Penggunaan Istihsan
      Istihsan terdiri dari 2 tujuan :
a.      Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan menggunakan dalil. Istishan seperti ini  dinamakan istihsan-qiyas atau qiyas khafi oleh ulama Hanafiyah. Contohnya adalah perempuan yang haid menurut qiyas haram membaca Al- Qur’an, namun menurut ulama Hanafiyah, perempuan yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan. Penjelasan tentang hal ini sebagaimana berikut :

Qiyas : Perempuan yang sedang haid diqiyaskan kepada orang yang junub, sehingga illatnya sama-sama tidak suci. Karena hukum orang yang junub haram membaca Al-Qur’an , maka perempuan yang sedang haid hukumnya sama, yaitu haram membaca Al-Qur’an.

Istishan : Haid adalah sesuatu yang berbeda dengan junub. Haid adalah kejadian organ reproduksi yang dialami semua perempuan yang sudah baligh dan lama masa haid lebih dari sehari dan bisa mencapai selama 15 hari. Karena itu perempuan yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila diharamkan dan diqiyaskan dengan junub, maka dalam kurun waktu selama haid, perempuan tidak bisa mendapat pahala ibadah dari membaca Al-Qur’an. Hal ini dinilai tidak adil karena laki-laki yang tidak mengalami hai dapat beribadah membaca Al-Qur’an sepanjang waktu tanpa dihalangi masa haid.[3]
Contoh istihsan macam pertama:

Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa.

 Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik.

 Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.[4]
  
b.      Membuat pengecualian sebagai hukum kully dengan dalil yang menguatkan. Istihsan seperti ini oleh ulama Hanfiyah disebut istishan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kulli tersebut adalah karena darurat atau karena suatu kepentingan yang mengharuskan adanya penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindari kesulitan.

Contohnya dalam hal jual beli salam (pesanan) menurut dalil kully dilarang, karena salah satu syarat sahnya jual beli adalah adanya barang. Karena itu menurut dalil kully jual beli salam dilarang, akan tetapi berdasarkan istihsan diperbolehkan dengan alasan bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan transaksi manusia dan manusia membutuhkan transaksi semacam ini.[5]


3.   Kedudukan Istishan Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat, terutama dalam hal kedudukan istishan. Imam Abu Hanifah berpegang teguh bahwa istihsan sebagai sumber hukum islam tersendiri, termasuk sebagian Malikkiyah dan Hambaliyah juga berpendapat demikian. Yang menggunakan hujjah istihsan ini, kebanyakan adalah ulama Hanafiyah. Alasan mereka terhadap dipakainya istihsan sebagai hujjah adalah bahasa istidlal dengan jalan istihsan hanya merupakan istidlal (menetapkan dalil) dengan qiyas khaffy yang dimenangkan oleh qiyas jali, atau merupakan kemenangan qiyas terhadap qiyas lainnya yang berlawanan dengan dalil yang menuntut adanya kemenangan , atau merupakan istidlal dengan jalan maslahah mursalah terhadap pengecualian hukum kully. Dan semua itu merupakan istidlal yang benar.[6]
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
a.      Firman Allah dalam Surah Az-Zumar : 55
Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.
(Q.S Az-Zumar : 55).
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
b.      Firman Allah dalam Surah Az-Zumar : 18
Artinya: “Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Q.S Az-Zumar : 18).
Ayat ini menurut mereka menegaskan pujian Allah bagi hamba-Nya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
c.     Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.” ( HR . Ahmad).
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.[7]
 Sedangkan Imam Syafi’i menolaknya dengan ungkapan “ Man istahsana faqad syara’a fid din “ (Barangsiapa yang membuat istihsan, maka sungguh ia membuat hukum syarak tersendiri dalam agama).
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
a.      Firman Allah dalam Surah Yunus : 36
 
Artinya : “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (Q.S Yunus :36).

b.      Firman Allah dalam Surah An-Nisa : 59


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.S. An-Nisa : 59)

Pada dasarnya istihsan bukanlah sumber hukum tersendiri, bukan pula sebagai hukum tersendiri, melaikan suatu model yang menggunakan dalail khafi daripada dalil jali berdasarkan adanya dalil lain. Asy-Syafi’i kiranya salah paham terhadap pengertian istihsan bagi Imam Hanafi. Bila diteliti lebih lanjut istihsan pada dasarnya sama dengan munasabah dalam qiyas Asy-Syafi’i. Al-Hamdy menyatakan bahwa sebenarnya Asy-Syafi’i juga menggunakan istihsan . misalnya soal perburuhan (menjual jasa) dan akad salam.[8]
Yang menggunakan hujjah istihsan ini, kebanyakan adalah ulama Hanafiyah. Alasan mereka terhadap dipakainya istihsan sebagai hujjah adalah bahasa istidlal dengan jalan istihsan hanya merupakan istidlal (menetapkan dalil) dengan qiyas khaffy yang dimenangkan oleh qiyas jali, atau merupakan kemenangan qiyas terhadap qiyas lainnya yang berlawanan dengan dalil yang menuntut adanya kemenangan , atau merupakan istidlal dengan jalan maslahah mursalah terhadap pengecualian hukum kully. Dan semua itu merupakan istidlal yang benar.[9]
Didalam praktek sering terjadi seorang hakim yang menghadapi beberapa kejadian yang mengandung kemashlahatan yang hakiki, jika sekiranya kejadian itu diputuskan tidak menurut apa yang tersurat didalam teks undang-undang itu. Dan ini tidak lain adalah sejenis istihsan.[10]





B.      ISTISHAB
1.      Pengertian
Istishab secara bahasa berarti pengakuan terhadap hubungan pernikahan. Menurut istilah Ulama Ushul, ialah penatapan terhadap sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan, hingga terdapat dalil yang menjunjukkan danya perubahan.[11]

Istishab secara istilah adalah menetapkan hukum yang berlaku pada masa lalu untuk keberlakuan masa sekarang, karena tidak adanya pengetahuan yang merubahnya. Menurut Ibnu Qoyyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy-Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku hukumya pada masa sekarang.

Dari pengertian istishab yang dikemukakan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa istishab adalah :
a.      Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tatap berlaku pada masa sekarang, kecuali jika da yang telah mengubahnya.
b.      Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa lalu.[12]

2.      Macam-macam istishab
Ishtishab ada dua macam,
a.      Istishab kepada hukum aqal dalam predikat ibahah (mubah) atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya).
Misalnya, setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjjuk oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah. Sebab Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh manusia, sesuai dengan firman-Nya :
  
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
(Q.S Al-Baqarah:29).
Ketetapan yang demikian itu tidak dapat dibenarkan, kecuali apabila segala sesuatu itu adalah mubah, sehingga ada sesuatu dalil yang mengharamkannya.

b.      Istishab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalil pun yang merubahnya. Misalnya, hukum-hukum yang diciptakan oleh syar’i berdasarkan sebab-sebab tertentu yang diketahui dengan yakin, maka terciptalah suatu hukum dan hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. Sebagai contoh yang konkrit ialah apabila seseorang berwudu, kemudian ia ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ia dihukumi sebagai orang yang masih dalam keadaan berwudu, berdasarkan istishab kepada hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya sacara yakin.[13]

3.      Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Jumhur Fuqaha menerima istishab sebagai hujjah, kecuali ulama Hanafiyah yang mensyaratkan agas istishab itu tidak divonis sebagai standar hukum, melainkah diperlukan adanya dalil lain yang mendukungnya, bahkan ulama Hanafiyah memandang istishab sebagai hujjah yang daifah (lemah) karena kebutuhan zaman memerlukan adanya bukti hitam di atas putih, baik berupa akta maupun surat serah terima.
Istishab merupakan dalil syara’ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa istishab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan, selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Hal ini merupakan metode dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan atau adat manusia pada seluruh pemeliharaan dan penetapan mereka.[14]
Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”[15]
4.      Keberlakuan hukum menurut istishab
a.      Istihabul ‘adamil asly (bara’ah asliyah), yakni meneruskan hukum kebebasan yang asalnya tidak ada tanggungannya, seperti ketidakadaan kewajiban sholat 6 waktu.
b.      Istihabul hukmi asly lil asyya’, yakni meneruskan hukum asal untuk segala hal, asal sesuatu itu bermanfaat selama hal itu belum ditunjukkan satu dalil. Contohnya, semua binatang darat itu boleh dimakan kecuali yang jelas diharamkan, seperti babi.
c.       Istihabul ma dalla asy syar’u ‘ala subuti wa dawami, yakni meneruskan eksistensi dan kontinuitas haknya atau tidak adanya hak, sesuai dengan petunjuk dalil yang ada.[16]





DAFTAR PUSTAKA
Djunaedi, MS. Wawan. 2005. Fikih untuk Madrasah Aliyah Kelas XII. Bandung: PT. Litafariska Putra
Khallaf, Abdul Wahhab. 1972. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Bandung: Risalah.
Muslih, Muhammad. 2011. Fiqih untuk Kelas XII Madrasah Aliyah. Solo: Yudhistira.
Qosim, Rizal. 2005. Pengamalan Fiqih 3. Solo: Tiga Serangkai.
Yahya, Mukhtar & Fatchurrahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami. Bandung: Al-Ma’arif.
Setiawan, Abdul Basith.2010.Dalil-dalil yang diperselisihkan dalam Ushul Fiqh. (online) http://abdulbasithsetiawan.blogspot.com/2010/06/normal-0-false-false-false.html .

Wibowo,Karyanto & Muhammad Ikhsan. 2010. Istishhab Sebagai Sebuah Pijakan Hukum dalam Ushul Fiqih. http://makalah-gratis.blogspot.com/2010/01/istishhab-sebagai-sebuah-pijakan-hukum.html .







[1] Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami. Bandung: PT. Al- Ma’arif, hlm. 100.
[2] Drs. M. Rizal Qosim. M.Si. 2005. Pengamalan Fikih 3. Solo : Tiga Serangkai, hlm. 77
[3] MS. Wawan Djunaedi. 2005. Fikih untuk Madrasah Aliyah Kelas XII. Bandung : PT. Listafariska Putra, hlm. 52-53.
[4] Ibrahim. 2012. Makalah Istihsan Sebagai Dalil Alternatif dalam Hukum Islam (online). http://makalahmajannaii.blogspot.com.
[5] MS. Wawan Djunaedi. loc. cit.
[6] DR. Abdul Wahhab Khallaf. 1972. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Bandung: Risalah, hlm. 122.
[7] Abdul Basith Setiawan. 2010. Dalil-dalil yang diperselisihkan dalam Ushul Fiqh. (online). http://abdulbasithsetiawan.blogspot.com
[8]Muhammad Muslih,M.Ag. 2011. Fiqih 3 untuk Madrasah Aliyah Kelas XII. Bogor: Yudhistira, hlm. 28
[9] DR. Abdul Wahhab Khallaf. loc. cit
[10] Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman. op. cit. hlm. 105.
[11] DR. Abdul Wahhab Khallaf. op. cit. hlm. 135
[12] Muslih, Muhammad. op. cit. hlm. 30
[13] Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman. op. cit. hlm.112-113
[14] Muhammad Muslih,M.Ag. op. cit. hlm. 31
[15] Kanto Wibowo dan Muhammad Ikhsan. 2010. Istishhab Sebagai Sebuah Pijakan Hukum dalam Ushul Fiqih.  (online). http:/makalah-gratis.blogspot.com.
[16] Muhammad Muslih, M.Ag. op. cit. hlm. 30

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer